Siapa bilang berubah itu mudah??!
Nyatanya, setiap perubahan itu butuh waktu yang tidak instan...dan cenderung membutuhkan proses yang panjang. Apakah itu perubahan yang sifatnya personal, institusional, ataupun global yang berada pada tataran negara.
Setiap tahap perubahan senantiasa diiringi keraguan tentang bagaimanakah kenyataan yang akan aku dapatkan dengan keputusan akan perubahan tersebut. Dengan adanya keraguan ini, sudah sangat manusiawi jika yang diinginkan adalah suatu kepastian.
Nah, lalu bagaimanakah untuk mendapatkan kepastian tersebut?
Tentu, langkah pertama yang biasa aku lakukan adalah mindset settlement atau pengukuhan akan sebuah pemikiran/wawasan. Dengan demikian, ada langkah awal suatu rangkaian rencana yang dijabarkan pada suatu konsep tentang perubahan. Poin yang paling penting adalah goal atau tujuan yang ingin aku raih haruslah jelas dan achievable atau realistis untuk dicapai dengan keadaan yang aku akan hadapi.
Well, everything is not that simple....benar saja, ketika proses berubah itu dijalani ada "kerikil" yang dihadapi, yang itu semua terkait dengan pemeliharaan mental untuk selalu konsisten dan sikap seperti apa yang mesti aku ambil untuk mengatasi pergolakan perasaan yang muncul berulang kali.
Semoga aku bisa terus menjadi manusia yang lebih baik seiring dengan perubahan yang dijalani, apapun itu.
Hidup tidak bisa lepas dari perubahan...perbedaan antara cita-cita dengan kenyataan yang harus dihadapi, bukanlah sesuatu yang tidak lazim dalam mengarungi kehidupan.
Tentang bagaimana merancang sebuah perubahan, di sanalah proses awal belajar menjadi manusia yang lebih dewasa akan berlangsung.
Selasa, 23 Agustus 2011
Selasa, 16 Agustus 2011
SEMUA TERJADI KARENA ALASAN
“Semua hal terjadi karena alasan, benarkah itu?” keraguan itu muncul di dalam pikiran perempuan itu selama perjalanannya dalam sebuah bus pariwisata di Osaka, Jepang.
Manusia seringkali bertanya mengapa hal ini bisa begini, mengapa hal ini bisa begitu, dan masih banyak lagi pertanyaan dalam diri kita dalam menyikapi sesuatu. Lalu, akan berunjung ke manakah semua pertanyaan itu? Jawabannya adalah “sebuah alasan” yang membawa sesuatu dalam diri kita, bisa itu hal baik atau hal buruk. Akan tetapi, tentu hal buruk akan terasa lebih dahsyat efeknya dalam pikiran kita dibandingkan dengan hal baik yang tentunya membuat kita senantiasa bersyukur dan berbahagia.
Begitu pula dengan jodoh atau jalan hidup seseorang, seperti yang ia alami. Dua tahun telah berlalu sejak ia ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya dan didambakannya sebagai seorang suami kelak. Namun, apalah daya manusia. Ternyata, sang idaman itu mengambil keputusan untuk tidak membina hubungan terikat dengannya dan memilih pergi ke Jepang untuk melanjutkan studinya di sana dengan perolehan beasiswa.
Perempuan itu bukan melarangnya pergi, justru ia sangat mendukung cita-cita sang pujaan hati itu dengan perasaan bahagia. Dirinya hanya menginginkan bahwa hubungan di antara mereka berdua bisa tetap terjalin walaupun terpisah lautan luas dan mereka fokus dengan cita-cita masing-masing sambil menunggu waktu yang tepat bagi mereka untuk menikah. Sang perempuan secara eksplisit menunjukkan komitmen dan kesetiaannya pada orang yang dicintainya itu. Akan tetapi, jawaban seperti apakah yang ia terima? Dirinya justru menerima jawaban bahwa sang pujaan hati itu memutuskan untuk tidak menjalin hubungan khusus dengannya dan merelakannya untuk menikah dengan orang lain yang “secara sepihak” dianggap lebih baik daripada diri sang laki-laki itu.
Seketika itu pula perasaan perempuan itu hancur berkeping-keping. Masa depan dan mimpi-mimpi yang selalu dia bangun bak rusak ditelan angin putting-beliung. Selama ini, ia menelan rasa ketidakpuasan atas pekerjaannya setelah 6 bulan mencari pekerjaan ke sana dan kemari. Sebagai seorang alumi sebuah universitas ternama dengan prestasi akademik yang membanggakan serta keaktifannya dalam aktivitas kampus, sang dara merasa pekerjaanya kurang dihargai. Bahkan, ia sempat menerima teguran dari sang asisten manajer akibat kecurangan kepala bagiannya sehingga pekerjaannya selesai tidak tepat pada waktunya. Salah satu yang bisa membuatnya senang adalah seseorang yang begitu spesial di hatinya yang begitu sayang dengan dirinya. Walaupun keadaan sulit membelenggunya, ia selalu berusaha untuk tetap semangat, tetap berikhtiar mencari pekerjaan lebih layak, dan terus berupaya mencari beasiswa untuk S2 yang juga dicita-citakannya.
Hari demi hari ia lewati dengan perasaan kelam. Pekerjaannya semakin hari makin padat, tetapi itu semua tidak menghentikannya berusaha mencari pekerjaan dan beasiswa melalui internet yang rutin dilakukannya pada malam hari sepulang bekerja. Bukan kali pertama ia harus pulang jam 12 malam ke rumah karena menghabiskan waktu di warnet untuk mencari informasi sebanyak mungkin. Negara tujuan belajarnya adalah Jepang dan Belanda, sehingga ia berusaha menyisihkan gajinya untuk membayar kursus bahasa Jepang 2 kali pertemuan dalam seminggu.
Waktu terus berlalu dan ia pun terus menjalani aktivitas hariannya. Suatu hari, sang dara itu mendapatkan panggilan untuk posisi Management Trainee di sebuah bank syariah nasional ternama. Rangkaian tes selesksi pun ia lewati, hingga sampai ke tahap akhir yaitu medical check-up. Sekitar 6 bulan sebelum panggilan kerja itu diterimanya, dokter memang mendiagnosa dirinya terkena bronkhitis berat sehingga harus minum obat rutin selama 1 tahun. Dengan perasaan sedih dan kecewa, ia baca surat pemberitahuan itu yang menyatakan bahwa dirinya tidak lolos seleksi sebagai salah satu calon Management Trainee.
Perasaannya pun meledak, kesedihan dan kegalauan semakin memenuhi hati dan pikirannya. Tidak jarang ia menangis di atas meja kerjanya ketika sedang berada di kantor. Air mata itu sudah begitu berat hingga dirinya pun tidak kuasa lagi menahannya untuk tidak membasahi pipinya. Walaupun begitu berat kondisi yang harus ia hadapai, tidak satu hari pun ia absen dari kantor tanpa alasan, kecuali sakit. Dirinya selalu mengusahakan untuk mengonversi semua kesedihannya itu dengan berikhtiar lebih keras.
Akhirnya, ia pun mendapatkan kesempatan untuk mendaftarkan diri pada program beasiswa ke Belanda dan ke Jepang. Hasilnya pun sungguh tidak mengecewakan, ia diterima di 2 univeritas di Belanda, Universiteit van Amsterdam dan Wageningen University. Akan tetapi, perempuan tegar itu tidak lolos beasiswa pemerintah justru ia menerima beasiswa langsung dari kampus Universiteit van Amsterdam yang mengharuskannya pergi ke Belanda dengan biaya sendiri. Merasa tidak ada kemampuan finansial, ia pun untuk kesekian kali menelan rasa sedih. Usahanya yang selalu menyempatkan diri membaca berbagai jurnal penelitian untuk menulis proposal akhirnya membuahkan hasil. Dara berkerudung itu dinyatakan diterima sebagai mahasiswa Indonesia untuk belajar di Jepang melalui beasiswa pemerintah Jepang, Monbukagakusho.
Harapanya ketika di Jepang adalah bisa menjalin komunikasi dengan sang “mantan” pujaan hati. Mereka pun sempat berkomunikasi lewat beberapa kali surat elektronik, tetapi pada akhirnya ia mengetahui bahwa laki-laki itu sudah “menutup” buku atas semua cerita indah tentang hubungan mereka. Merasa dirinya sudah berikhtiar keras, ia pun berserah diri pada Yang Maha Kuasa atas ketetapan jodohnya. Setahun setelah ia tiba di Jepang, perempuan bersahaja itu pun dilamar dan akhirnya hidup bahagia bersama suaminya yang ternyata ia rasakan jauh lebih baik daripada pujaan hatinya dulu. Setiap kali dirinya mencoba menoleh ke belakang untuk melihat cerita masa lalunya, ia selalu yakin bahwa semua hal terjadi memang karena suatu alasan yang bisa terungkap kapan saja, tanpa diduga oleh siapa pun.
Kamis, 10 Februari 2011
Gerakan Tubuh Anak Cerdas - Ibu & Balita
Seorang ibu gemas melihat balitanya yang tak pernah bisa duduk anteng. Apalagi jika harus mendatangi tempat umum atau bersilahturahmi ke rumah teman dan kerabat. ‘’Capek saya. Bahkan malu kalau anak saya sampai jalan kesana kemari dan naik-naik tangga jika diajak bertamu. Anak saya ini kayaknya hiperaktif,’’ keluhnya. Ia pun mendatangi ruang konsultasi psikologi untuk menanyakan apakah ada yang tak sesuai dengan perkembangan anaknya.
Menurut Psikolog Perkembangan Anak, Alzena Masykouri, M.Psi, semua anak tumbuh dan berkembang dalam tingkatan yang bervariasi. Termasuk di dalamnya perkembangan kecerdasan gerak fisiknya atau kinestetik. Ada satu fase perkembangan motorik kasar yang berkembang dengan pesat, tapi ada fase lain perkembangan motorik halus menjadi perhatian utama.
Alzena menyebutkan, bodily kinesthetic intelligence atau cerdas kinestetik sebagai kemampuan manusia menghubungkan dan menggunakan pikiran selaras dengan gerakan tubuh, termasuk kemampuan tubuh untuk memanipulasi benda dan membuat aneka gerakan. ‘’Anak yang cerdas kinestetik itu mampu menggunakan dan menghubungkan antara pikiran dan tubuhnya secara bersamaan untuk mencapai tujuan tertentu,’’ katanya. Misalnya, anak yang terampil memanjat pohon, menerbangkan layangan, atau bermain lompat tali dengan berbagai variasi gerakan. ‘’Beda dengan anak yang mengalami gangguan hiperaktivitas yang biasanya bergerak tidak terarah dan cenderung impulsif. Tidak ada gerakan yang terencana,’’ jelas Alzena. Tentu saja anak dengan hiperaktif ini sulit mencapai tujuan dari gerakan kompleks, seperti memanjat pohon atau bermain lompat tali.
Selasa, 25 Januari 2011
Mengapa Indonesia Mendapatkan "Kekalahan" di Mata Orangnya Sendiri
Apakah yang ada di benak kita jika ditanya, "Mau ke manakah kamu akan berlibur jika mendapatkan voucher travel gratis ke mana pun?"
Sampai saat ini saya yakin, baik Indonesia bahkan negara "maju" sekalipun seperti Jepang, Amerika, dsb. selalu memiliki "kelemahan" dalam negaranya. Di masa silam, Indonesia sungguh luar biasa berat harus menghadapi berbagai periode penjajah dari beberapa negara yang datang silih berganti. Saya berpikir mengapa Indonesia bisa begitu tertinggal dibandingkan negara-negara maju, justru Indonesia pernah "kehilangan" masa untuk membangun dirinya sendiri akibat adanya penjajahan. Kalau dilihat, justru negara-negara yang sudah maju atau yang lebih maju bukanlah negara yang pernah mengalami penjajah, justru mereka pernah menjadi negara penjajah atau negara yang mendapatkan kemerdekaan karena "pemberian", bukan seperti Indonesia yang secara gigih memperjuangkan kemerdekaannya "sendiri".
Dengan melihat sejarah itu saja, saya bangga menjadi negara "pemenang sejati" dalam membebaskan diri dari belenggu negara lain. Saya memang bukan ahli sejarah, tetapi sudah selayaknya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus merasa bangga untuk dilahirkan, tumbuh berkembang, dan belajar segala aspek kehidupan di Indonesia. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa permasalahan Indonesia semakin pelik, orang-orang yang benar bisa jadi "dibuat" seperti melakukan kesalahan, sebaliknya orang-orang yang "jahat" menjadi terselamatkan karena adanya permainan politik pemerintahan. Justru dengan begitu peliknya Indonesia, akankah kita hanya mencari kenyamanan hidup diri kita sendiri tanpa ada upaya untuk memperbaiki negara ini. Saya sedih jika bertemu dengan orang yang secara terang-terangan berekspresi "negatif" dan "pasrah" dengan kondisi Indonesia. Justru kita harus menjadi pejuang di masa kini dan masa yang akan datang demi suatu perbaikan. Sampai kapan kita merasa cukup baik? Tentu saja kita akan selalu merasa kurang dan terus kurang, karena itulah "manusia" sebenarnya. Lalu, apakah negara lain bisa menjanjikan keadaan yang lebih baik? Tentu saja, apapun ada resikonya....yang jelas, di mana pun kaki ini berpijak tantangan akan selalu ada.
Janganlah kita memandang sebelah mata apa yang menjadi bagian dari diri kita. Kita bisa saja lupa diri dengan apa yang sudah kita peroleh sehingga lisan kita menjadi tidak terjaga. Jika Indonesia memiliki "perasaan" seperti manusia, akan berkata apakah ia jika mendengar pesimistis dan berbagai pandangan negatif yang terlontar secara kuat penuh hawa nafsu. Harapan akan duniawi tidak akan pernah cukup, di mana pun dan kapan pun kita berada.
Kelebihan pada bagian di luar diri kita seharusnya menjadi cermin bagi diri kita sendiri dan bertanya, siapakah diri kita? Hebatkah kita, lalu mengapa kita bisa berpikir kita hebat jika kita masih percaya bahwa ada Sang Maha Hebat dan Kuat yang mampu melenyapkan impian kita. Negeri orang mungkin menjanjikan "emas", tetapi ketika "emas" itu sudah kita raih...mengapa hati dan pikiran kita bisa memandang sebelah mata sebuah daratan yang hanya menjanjikan "kuningan" di mana kita pernah memegang erat "kuningan" itu. Sang Maha Kuat itu bisa saja dengan mudah membuat kesulitan dalam pencarian "emas" di negeri impian itu, bahkan melenyapkan dengan seketika "emas-emas" yang pernah berserakan di dalamnya.
"Janganlah lupa kacang pada kulitnya", setidaknya peribahasa itu harus kita camkan dalam hati, pikiran, dan lisan kita. Negara akan baik jika masyarakatnya baik...lalu jika "kebaikan" itu telah datang pada kita, tentunya sungguh "tega" jika kita sampai melontarkan ungkapan yang "merendahkan" bagi sebuah tempat yang ditakdirkan untuk menjadi tanah kelahiran kita.
Biarlah jawaban itu kita simpan dalam benak kita masing-masing karena bukan tentang voucher travel yang ingin saya uraikan dalam tulisan saya.
Sepintas jika saya menangkap pemikiran teman-teman atau orang-orang di sekeliling saya, kebanyakan mereka menganggap Indonesia memang begitu terpuruk, tetapi bukan berarti sama sekali tidak ada yang dapat dibanggakan.
Dalam perspektif saya, Indonesia adalah sebuah negara hebat namun diberi ujian ditinggali oleh segelintir orang-orang tidak jujur yang menamakan diri mereka adalah golongan intelektual.
Berdasarkan pengalaman studi yang saya selama ini, justru saya merasa bangga menjadi bagian dari Indonesia karena jika tidak, mungkin hikmah pembelajaran yang saya peroleh tidak akan sehebat seperti yang saya rasakan saat ini.
Sampai saat ini saya yakin, baik Indonesia bahkan negara "maju" sekalipun seperti Jepang, Amerika, dsb. selalu memiliki "kelemahan" dalam negaranya. Di masa silam, Indonesia sungguh luar biasa berat harus menghadapi berbagai periode penjajah dari beberapa negara yang datang silih berganti. Saya berpikir mengapa Indonesia bisa begitu tertinggal dibandingkan negara-negara maju, justru Indonesia pernah "kehilangan" masa untuk membangun dirinya sendiri akibat adanya penjajahan. Kalau dilihat, justru negara-negara yang sudah maju atau yang lebih maju bukanlah negara yang pernah mengalami penjajah, justru mereka pernah menjadi negara penjajah atau negara yang mendapatkan kemerdekaan karena "pemberian", bukan seperti Indonesia yang secara gigih memperjuangkan kemerdekaannya "sendiri".
Dengan melihat sejarah itu saja, saya bangga menjadi negara "pemenang sejati" dalam membebaskan diri dari belenggu negara lain. Saya memang bukan ahli sejarah, tetapi sudah selayaknya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus merasa bangga untuk dilahirkan, tumbuh berkembang, dan belajar segala aspek kehidupan di Indonesia. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa permasalahan Indonesia semakin pelik, orang-orang yang benar bisa jadi "dibuat" seperti melakukan kesalahan, sebaliknya orang-orang yang "jahat" menjadi terselamatkan karena adanya permainan politik pemerintahan. Justru dengan begitu peliknya Indonesia, akankah kita hanya mencari kenyamanan hidup diri kita sendiri tanpa ada upaya untuk memperbaiki negara ini. Saya sedih jika bertemu dengan orang yang secara terang-terangan berekspresi "negatif" dan "pasrah" dengan kondisi Indonesia. Justru kita harus menjadi pejuang di masa kini dan masa yang akan datang demi suatu perbaikan. Sampai kapan kita merasa cukup baik? Tentu saja kita akan selalu merasa kurang dan terus kurang, karena itulah "manusia" sebenarnya. Lalu, apakah negara lain bisa menjanjikan keadaan yang lebih baik? Tentu saja, apapun ada resikonya....yang jelas, di mana pun kaki ini berpijak tantangan akan selalu ada.
Janganlah kita memandang sebelah mata apa yang menjadi bagian dari diri kita. Kita bisa saja lupa diri dengan apa yang sudah kita peroleh sehingga lisan kita menjadi tidak terjaga. Jika Indonesia memiliki "perasaan" seperti manusia, akan berkata apakah ia jika mendengar pesimistis dan berbagai pandangan negatif yang terlontar secara kuat penuh hawa nafsu. Harapan akan duniawi tidak akan pernah cukup, di mana pun dan kapan pun kita berada.
Kelebihan pada bagian di luar diri kita seharusnya menjadi cermin bagi diri kita sendiri dan bertanya, siapakah diri kita? Hebatkah kita, lalu mengapa kita bisa berpikir kita hebat jika kita masih percaya bahwa ada Sang Maha Hebat dan Kuat yang mampu melenyapkan impian kita. Negeri orang mungkin menjanjikan "emas", tetapi ketika "emas" itu sudah kita raih...mengapa hati dan pikiran kita bisa memandang sebelah mata sebuah daratan yang hanya menjanjikan "kuningan" di mana kita pernah memegang erat "kuningan" itu. Sang Maha Kuat itu bisa saja dengan mudah membuat kesulitan dalam pencarian "emas" di negeri impian itu, bahkan melenyapkan dengan seketika "emas-emas" yang pernah berserakan di dalamnya.
"Janganlah lupa kacang pada kulitnya", setidaknya peribahasa itu harus kita camkan dalam hati, pikiran, dan lisan kita. Negara akan baik jika masyarakatnya baik...lalu jika "kebaikan" itu telah datang pada kita, tentunya sungguh "tega" jika kita sampai melontarkan ungkapan yang "merendahkan" bagi sebuah tempat yang ditakdirkan untuk menjadi tanah kelahiran kita.
Langganan:
Postingan (Atom)