Selasa, 06 Desember 2011

Kebahagiaan bagi Orang yang Berilmu

Alangkah lengkapnya hidup dengan ilmu, yang saya maksudkan di sinilah adalah bukan hanya mencakup ilmu dalam ruang lingkup akademis saja. Ilmu kehidupan adalah ilmu yang tidak akan pernah dikuliahkan di perguruan tinggi manapun. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu maka ilmu kehidupan itupun akan dapat dipelajari seiring dengan berbagai tantangan kehidupan menerpa. Tentu saja, saya bisa berkata demikian setelah saya beranjak dewasa dan bersyukur untuk diberikan banyak pelajaran dari orang lain dari berbagai tantangan, ujian, cobaan, atau sentilan kecil atas diriku yang tidak akan pernah sempurna ini.

Semakin kita tahu ilmu, rasanya semakin bisa menyelami arti hidup ini...mengapa ini begitu, mengapa ini begini. Ada tausiah yang saya dengar ketika masih kuliah dulu, yang sungguh saya ingat hingga sekarang. Isinya mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala sebenarnya menyampaikan rasa sayangnya pada kita melalui berbagai cara, bisa berupa kenikmatan atau bisa juga beruba ujian dan cobaan untuk mengetahui bagaimana kita menyikapinya. Apakah kita semakin dekat dengan-Nya, ataukah justru semakin jauh dengan-Nya.

Saya sungguh merasakan isi tausiah itu. Saya pernah mendapatkan cobaan yang tidak pernah saya duga sebelumnya dan hingga di titik kritis menuju keputusasaan bahwa tidak ada cara untuk mengubahnya. Saya merasa begitu jauh dengan-Nya ketika itu. Dengan begitu, justru saya semakin terjerembab lagi dalam masalah-masalah baru hingga rasanya sulit sekali bagi saya untuk bangkit dan menemukan pintu kebenaran. Namun, akhirnya ada momen yang menyadarkan saya. Akhirnya, saya kembali percaya diri bahwa memang betul Allah subhanahu wa ta'ala akan memberikan sesuatu sesuai persangkaan kita. Manakala kita berprasangka baik maka segala sesuatu akan berakhir baik pula, dan manakala kita berprasangka buruk maka jalan terang pun rasanya sulit sekali muncul.

Waktu terus berganti, kehidupan setiap orang pun berubah sesuai dengan jalan hidup pilihannya sekaligus yang menjadi takdirnya. Ada begitu banyak hal yang tidak pernah bisa diprediksi oleh manusia, dan keikhlasanlah kuncinya. Jujur, ikhlas adalah ilmu paling sulit. Betapa tidak, kita harus belajar menerima sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya dengan tanggapan positif dan bijaksana. Subhanallah....sungguh ilmu-Mu di muka bumi ini begitu luas. Setelah saya semakin menyelami hidup, rasanya semakin banyak pertanyaan yang muncul. Sungguh suatu anugerah bagi saya bahwa saya menemukan pasangan hidup yang sungguh-sungguh tulus ingin menjadi pasangan jiwa saya...yang notabene masih banyak bengkoknya. Kami selalu bertukar pikiran dalam setiap hal, sekecil apapun itu. Walaupun mesti terpisah jarak, ikatan kita sungguh kuat. Allah memang Maha Kuasa, Dia sampaikan ilmu-Nya melalui kehadirannya sehingga saya banyak menemukan jawaban atas setiap tantangan kehidupan. Subhanallah...setelah mengetahui ilmu-ilmu-Nya itu melalui Al Qur'an dan As-Sunnah sungguh rasanya hidup terasa lebih ringan karena kita jadi tahu latar belakang apa yang Allah subhanahu wa ta'ala ingin sampaikan pada kita. Laailaaha ilallaah wallaahu akbar...

Jumat, 14 Oktober 2011

Jangan Terlambat

Ada orang berkata bahwa waktu investasi. Aku sungguh-sungguh...sepenuhnya setuju dengan hal itu. Betapa tidak, dengan waktu kita akan selalu diberi kesempatan untuk menentukan langkah kita ke depan, dan tentu saja...tidak ada melangkah ke belakang. Oleh karenanya, dengan waktulah kita dapat tumbuh dewasa.

"Did I miss something?", pertanyaan itu pernah terlintas dalam pikiranku seiring dengan dinamisasi kehidupan yang terus berlangsung. Ada orang yang aku kenal tidak menyadari arti pentingnya seseorang dalam hidupnya ketika itu. Namun, mereka justru menyadarinya setelah apa yang ia cintai itu telah lenyap dari hari-harinya. Di sinilah pelajaran hidup berlangsung. Manusia akan selalu diberi tantangan untuk memanfaatkan waktu dalam mengambil setiap keputusan, bahkan mungkin untuk keputusan yang paling bisa mengubah kehidupan seseorang, seperti berkarir atau menikah.

Aku selalu yakin bahwa Allah subhanahu wa ta'ala Maha Mengetahui yang terbaik atas usaha manusia. Akan tetapi, tanpa ikhtiar bagaimana mungkin kita bisa yakin bahwa sebuah keputusan telah dipertimbangkan secara matang atau tidak. Waktu tidak akan pernah mundur, penyesalan di akhir sangatlah menyakitkan.

Senin, 10 Oktober 2011

Sebuah Pertanyaan

Pertanyaan itu sering sekali muncul dalam pikiranku..."Apa rencanamu dalam hidupmu?" Rasanya ada begitu banyak hal untuk menjadi jawabannya, karena memang begitu banyak hal yang ingin aku raih, wujudkan, dan tentunya ingin aku bagi sebagai pelajaran atau pengalaman hidup bagi generasi setelahku.

Berawal dari sebuah pertanyaan itulah, aku telah dididik oleh lingkunganku...orang tua, keluarga, sekolah, bahkan berbagai komunitas sepanjang perjalanan ketika berkendaraan untuk menuntut ilmu yang telah memvisualisasikan berbagai realita kehidupan. Dengan pertanyaan itu pulalah, pikiranku tergiring untuk memikirkan cara untuk mencapai setiap target yang telah aku buat.

Sering berjalannya waktu, aku telah "diajarkan" untuk selalu berantisipasi manakala pola yang telah dibuat ternyata menemui jalan buntu. Awalnya, aku sungguh memaksakan semuanya. Akan tetapi, waktu telah membuatku sadar bahwa perubahan dalam target pasti ada. Lalu, apakah aku telah gagal? Jawaban pikiran logisku adalah "Tentu saja tidak". Mengapa?? Karena target yang dibuat hendaknya disesuaikan dengan keadaan diriku sendiri yang pastinya berbeda dengan orang lain.

Waktu telah banyak mengajarkanku menghargai diriku sendiri dan apa yang telah bisa aku raih hingga saat ini. Tidak semua orang paham dengan keadaanku atau pemikiranku, tetapi hidup memang adil. Di sisi lain, aku juga tidak bisa sepenuhnya mengerti akan pilihan dan pemikiran orang lain. Jadi, buat apa dikisruhkan dengan ucapan-ucapan yang tidak simpatik?!

Oleh karenanya, sebuah pertanyaan itu telah menggiringku untuk lebih mengerti makna hakiki akan hak asasi manusia yang bermartabat. Bukan manifestasi hak yang merugikan orang lain, namun manifestasi yang mengangkat makna kebebasan yang sebenarnya bahwa setiap orang layak untuk memilih hal positif apa yang cocok bagi dirinya.

Jumat, 07 Oktober 2011

Tak Ada Cinta Tanpa Pengorbanan

Hidup manusia akan senantiasa lekat dengan cinta selama kita selalu berusaha memberikannya, maka pada akhirnya cinta itu akan datang dengan sendirinya. "Ga percaya?!", setidaknya kalimat itulah yang muncul pada otak "logisku" menanggapi hatiku yang sedang berbicara.

Kehidupan yang baik senantiasa dilandaskan oleh cinta yang menyangkut 3 pilar utama, habluminallah, habluminannas, dan hubungan manusia dengan alam sekitar. Cinta akan butuh pengorbanan, tidak ada kehidupan yang hanya mengandalkan agar menerima cinta saja. Bagaimana mungkin itu terjadi? Selalu saja akan ada timbal balik dan hubungan aksi-reaksi dalam setiap langkah yang kita buat, maka jika kita ingin dicintai maka kita pun harus tak ragu untuk mengekspresikan cinta tersebut.Seperti pada hubungan manusia dengan Sang Khalik, manusia sepatutnya mencintai penciptanya dengan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan apa yang telah diperintahkan oleh-Nya...maka Dia pun akan mencintai kita.

Dalam kehidupan manusia, cinta antara sepasang jiwa selalu akan menjadi rona indah dan selalu menjadi aspek yang begitu erat dalam hubungan antara sesama. Kadang-kadang manusia bisa terdorong untuk menjadi lebih egois karena cinta karena pada dasarnya manusia memang sudah memiliki ego masing-masing. Berbagai cerita cinta seakan selalu saja menjadi hal yang menarik untuk bisa dipetik hikmahnya, karena dengan cinta kehidupan seseorang akan berubah seiring perjalanan waktu, Di balik itu semua, akan selalu ada faktor pengobanan yang termanifestasikan dalam beragam aspek.

Ada cinta yang karenanya seseorang kehilangan persahabatan, ada yang harus berhenti berkarir, dan ada pula  yang justru berubah (menjadi lebih baik) karena adanya cinta. Pada dasarnnya ada sesuatu yang mesti "hilang", itulah pengorbanan. Mungkin inilah bagian dari hidup yang mengajarkan manusia bahwa tidak semua hal yang kita inginkan bisa terpenuhi 100%, maka pertimbangan yang matang sangatlah diperlukan. Hal ini sangatlah natural untuk dijalani, karena setiap langkah memang selalu ada konsekuensinya.

Dengan cinta maka akan selalu ada pihak yang berkorban akan perasaannya. Namun, ketika cinta telah menginduksi seseorang menjadi lebih egois, justru kenyataan bahwa cinta tidak bisa dipaksakan tidak bisa disadari oleh sebagian orang. Ada yang berkompensasi untuk memutuskan silaturahmi secara tidak baik, ada yang terus menanamkan kedengkian, dan ada juga yang berdalih dengan selalu menyalahkan pihak lain atas kesalahan yang ia perbuat. Rasanya tidak cukup adil bagi mereka yang menginginkan kebahagiaan, justru mendapatkan hal-hal tidak baik dari pihak-pihak yang tidak terbahagiakan. Kehidupan memang warna-warni...penuh dengan gejolak.

Jumat, 30 September 2011

Ketika Menjadi Berbeda...Why Not?!

Hidup itu adalah pilihan...semua orang tidak akan menjalani hal yang serupa dengan orang lain. Saya yakin semua orang punya keinginan dan cita-cita dalam hidupnya, yang berbeda adalah implementasi dalam mengekspresikannya saja. Saya yakin setiap orang ingin sukses, yang berbeda adalah usaha dan penentuan poros jalan manakah yang ia pilih untuk meraih kesuksesan seperti definisi pribadinya.

Egoisme manusia ada kalanya melihat sesuatu secara parsial, yang kita mau adalah bahwa target pribadi kita tercapai. Lalu, apakah itu akan menguntungkan orang lain atau tidak? Inilah konsep yang saya rasakan mulai muncul ketika setelah menikah. Ternyata tantangan pertama dalam menjaga ikatan yang seimbang itu dimulai dengan menurunkan egoisme.

Berkeluarga sama seperti menjalin ikatan tiada akhir sehingga yang terpikirkan adalah bagaimana agar seluruh anggota keluarga bisa terayomi dengan baik. Level kedewasaan pun seakan diuji. Keseimbangan dan keselarasan dalam membahagiakan diri sendiri dan orang-orang sekitar pun layaknya memberdirikan sebuah uang koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Mengapa saya mengumpamakan hal ini? Iya, dalam berkeluarga adakalanya kepentingan pribadi dikorbankan demi kepentingan bersama, di sisi lain...ketika ada kepentingan pribadi yang ditonjolkan maka anggota kelurgalah yang diajak untuk mengerti. Di sinilah level kedewasaan pun terasah, bagaimana memilah persoalan dan bagaimana pula memikirkan solusi yang tepat bagi kepentingan bersama.

Perubahan akan kehidupan pribadi setelah menikah tentu saja ada, karena yang dipikirkan adalah bukan kepentingan sendiri. Tidak dipungkiri, perubahan kepribadian juga bisa terjadi...tentu saja, diharapkan menjadi pribadi yang lebih matang dan dewasa. Mungkin, inilah yang akan membawa pada perubahan sebagai seorang manusia di tengah-tengah komunitas yang selamanya tidak mengerti akan suatu perbedaan. Pemahaman tentang bagaimana dalam mengatur rumah tangga pun berbeda-beda. Wajar saja, keluarga itu merupakan sistem yang dibagun oleh kesepahaman, bukan oleh orang lain melainkan oleh pasangan itu sendiri. Masing-masing punya tanggung jawab dalam keluarga. Walaupun semua hal bisa saling menyeimbangkan, ada saja tugas pokok yang tidak mungkin dialihkan.

Sebagai seorang istri juga ibu, ada tugas utama spesial yang begitu mulia...yaitu melahirkan anak, mengasuhnya, membimbingnya, dan mengantarkannya menjadi manusia dewasa yang berguna di masyarakat. Perlukah seorang istri bekerja, atau tidak? Itu semua tergantung pada komitmen masing-masing dalam berumah tangga. Apakah salah jika ada seorang perempuan yang notabene sudah bergelar S2, punya resume profesional yang baik, punya prestasi yang baik bahkan diakui di negara lain, memutuskan untuk tinggal di rumah bersama anaknya? Apakah dengan semua hal yang ia punya, maka ada "keharusan" baginya untuk bekerja? Tidak ada keharusan itu, yang ada adalah keharusan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai istri juga ibu di dalam keluarga. Sepertinya itu adalah hal yang tidak mungkin, setidaknya untuk zaman sekarang yang umumnya orang menganggap seorang istri sepatutnya bekerja di luar rumah.

Sungguh disayangkan jika sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki pemahaman seperti ini. Padahal, di negara maju seperti Amerika dan Jepang, banyak istri yang memutuskan fokus mendidik anak, jika memang ekonomi keluarga cukup ditopang oleh penghasilan suami. Lalu, level penghidupan yang layak itu seperti apa? Hal ini tentu saja berpulang pada pemahaman setiap pasangan. Konsep akan tingkat ekonomi sungguh-sungguh relatif, yang tidak jarang itu semua dinilai secara materialistik oleh sebagian kalangan masyarakat kita. Di satu sisi, saya merasa prihatin dengan hal ini...ada sebagian orang yang sepertinya bersusah payah menampilkan dirinya sebagai orang yang "patut" dihormati dengan apa yang menempel pada dirinya. Arus hedonisme sepertinya membutakan banyak orang, bahwa posisi, jabatan, materi seakan-akan menjadi "alat" untuk mengharapkan topi kehormatan. Lalu, bagaimanakah dengan budi pekerti, sopan-santun, dan sikap serta tutur kata yang baik di depan umum? Siapakah yang akan menanamkan ini semua? Apakah hanya guru di sekolah? Cukupkah itu semua? Setidaknya inilah buah pemikiran saya...lalu, saya berkata pada diri sendiri...saya tidak mungkin lari, di sinilah saya mengambil peran.

Semua perubahan yang besar dimulai dari yang kecil. Setidaknya ini yang saya ingat. Saya ingin sekali bisa berbagi ilmu dengan mengajar. Lika-liku kehidupan yang saya alami seakan mengajarkan sekaligus mengingatkan saya bahwa walaupun saya tidak mengerjakannya di luar rumah, justru Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kesempatan itu dengan cara luar biasa, yaitu memulainya dari lingungan yang kecil...tidak lain adalah kelurga.

Di hela nafas ketika menulis bagian akhir buah pikiran ini, saya sungguh merasa ini adalah sesuatu yang sungguh luar biasa...ada seperti rasa  khawatir disertai optimis, insya Allah...semua hal yang pernah saya alami dan jalani tidak akan terbuang sia-sia hanya karena bekerja di rumah. Ada anak yang akan saya didik sebaik mungkin yang saya bisa. Ya, menjadi seorang ibu yang full-time buat anaknya mungkin akan mengernyitkan dahi sebagian orang...namun, kecanggihan teknologi justru menjadi jendela bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya seraya mengabdikan dirinya di rumah sehingga tetap menjadi pribadi yang berpikir maju. So, why not to be different?! Isn't it good to be at home but still can be have chances to expand creativity?! Life is always fair for everybody as long as we always search the true meaning of being alive. Insya allah...

Selasa, 23 Agustus 2011

Perubahan Bermuara pada Keraguan

Siapa bilang berubah itu mudah??!
Nyatanya, setiap perubahan itu butuh waktu yang tidak instan...dan cenderung membutuhkan proses yang panjang. Apakah itu perubahan yang sifatnya personal, institusional, ataupun global yang berada pada tataran negara.

Setiap tahap perubahan senantiasa diiringi keraguan tentang bagaimanakah kenyataan yang akan aku dapatkan dengan keputusan akan perubahan tersebut. Dengan adanya keraguan ini, sudah sangat manusiawi jika yang diinginkan adalah suatu kepastian.
Nah, lalu bagaimanakah untuk mendapatkan kepastian tersebut?

Tentu, langkah pertama yang biasa aku lakukan adalah mindset settlement atau pengukuhan akan sebuah pemikiran/wawasan. Dengan demikian, ada langkah awal suatu rangkaian rencana yang dijabarkan pada suatu konsep tentang perubahan. Poin yang paling penting adalah goal atau tujuan yang ingin aku raih haruslah jelas dan achievable atau realistis untuk dicapai dengan keadaan yang aku akan hadapi. 

Well, everything is not that simple....benar saja, ketika proses berubah itu dijalani ada "kerikil" yang dihadapi, yang itu semua terkait dengan pemeliharaan mental untuk selalu konsisten dan sikap seperti apa yang mesti aku ambil untuk mengatasi pergolakan perasaan yang muncul berulang kali.

Semoga aku bisa terus menjadi manusia yang lebih baik seiring dengan perubahan yang dijalani, apapun itu.
Hidup tidak bisa lepas dari perubahan...perbedaan antara cita-cita dengan kenyataan yang harus dihadapi, bukanlah sesuatu yang tidak lazim dalam mengarungi kehidupan.
Tentang bagaimana merancang sebuah perubahan, di sanalah proses awal belajar menjadi manusia yang lebih dewasa akan berlangsung.


Selasa, 16 Agustus 2011

SEMUA TERJADI KARENA ALASAN


“Semua hal terjadi karena alasan, benarkah itu?” keraguan itu muncul di dalam pikiran perempuan itu selama perjalanannya dalam sebuah bus pariwisata di Osaka, Jepang.
Manusia seringkali bertanya mengapa hal ini bisa begini, mengapa hal ini bisa begitu, dan masih banyak lagi pertanyaan dalam diri kita dalam menyikapi sesuatu. Lalu, akan berunjung ke manakah semua pertanyaan itu? Jawabannya adalah “sebuah alasan” yang membawa sesuatu dalam diri kita, bisa itu hal baik atau hal buruk. Akan tetapi, tentu hal buruk akan terasa lebih dahsyat efeknya dalam pikiran kita dibandingkan dengan hal baik yang tentunya membuat kita senantiasa bersyukur dan berbahagia.

Begitu pula dengan jodoh atau jalan hidup seseorang, seperti yang ia alami. Dua tahun telah berlalu sejak ia ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya dan didambakannya sebagai seorang suami kelak. Namun, apalah daya manusia. Ternyata, sang idaman itu mengambil keputusan untuk tidak membina hubungan terikat dengannya dan memilih pergi ke Jepang untuk melanjutkan studinya di sana dengan perolehan beasiswa.

Perempuan itu bukan melarangnya pergi, justru ia sangat mendukung cita-cita sang pujaan hati itu dengan perasaan bahagia. Dirinya hanya menginginkan bahwa hubungan di antara mereka berdua bisa tetap terjalin walaupun terpisah lautan luas dan mereka fokus dengan cita-cita masing-masing sambil menunggu waktu yang tepat bagi mereka untuk menikah. Sang perempuan secara eksplisit menunjukkan komitmen dan kesetiaannya pada orang yang dicintainya itu. Akan tetapi, jawaban seperti apakah yang ia terima? Dirinya justru menerima jawaban bahwa sang pujaan hati itu memutuskan untuk tidak menjalin hubungan khusus dengannya dan merelakannya untuk menikah dengan orang lain yang “secara sepihak” dianggap lebih baik daripada diri sang laki-laki itu.

Seketika itu pula perasaan perempuan itu hancur berkeping-keping. Masa depan dan mimpi-mimpi yang selalu dia bangun bak rusak ditelan angin putting-beliung. Selama ini, ia menelan rasa ketidakpuasan atas pekerjaannya setelah 6 bulan mencari pekerjaan ke sana dan kemari. Sebagai seorang alumi sebuah universitas ternama dengan prestasi akademik yang membanggakan serta keaktifannya dalam aktivitas kampus, sang dara merasa pekerjaanya kurang dihargai. Bahkan, ia sempat menerima teguran dari sang asisten manajer akibat kecurangan kepala bagiannya sehingga pekerjaannya selesai tidak tepat pada waktunya. Salah satu yang bisa membuatnya senang adalah seseorang yang begitu spesial di hatinya yang begitu sayang dengan dirinya. Walaupun keadaan sulit membelenggunya, ia selalu berusaha untuk tetap semangat, tetap berikhtiar mencari pekerjaan lebih layak, dan terus berupaya mencari beasiswa untuk S2 yang juga dicita-citakannya.

Hari demi hari ia lewati dengan perasaan kelam. Pekerjaannya semakin hari makin padat, tetapi itu semua tidak menghentikannya berusaha mencari pekerjaan dan beasiswa melalui internet yang rutin dilakukannya pada malam hari sepulang bekerja. Bukan kali pertama ia harus pulang jam 12 malam ke rumah karena menghabiskan waktu di warnet untuk mencari informasi sebanyak mungkin. Negara tujuan belajarnya adalah Jepang dan Belanda, sehingga ia berusaha menyisihkan gajinya untuk membayar kursus bahasa Jepang 2 kali pertemuan dalam seminggu.

Waktu terus berlalu dan ia pun terus menjalani aktivitas hariannya. Suatu hari, sang dara itu mendapatkan panggilan untuk posisi Management Trainee di sebuah bank syariah nasional ternama. Rangkaian tes selesksi pun ia lewati, hingga sampai ke tahap akhir yaitu medical check-up. Sekitar 6 bulan sebelum panggilan kerja itu diterimanya, dokter memang mendiagnosa dirinya terkena bronkhitis berat sehingga harus minum obat rutin selama 1 tahun. Dengan perasaan sedih dan kecewa, ia baca surat pemberitahuan itu yang menyatakan bahwa dirinya tidak lolos seleksi sebagai salah satu calon Management Trainee.

Perasaannya pun meledak, kesedihan dan kegalauan semakin memenuhi hati dan pikirannya. Tidak jarang ia menangis di atas meja kerjanya ketika sedang berada di kantor. Air mata itu sudah begitu berat hingga dirinya pun tidak kuasa lagi menahannya untuk tidak membasahi pipinya. Walaupun begitu berat kondisi yang harus ia hadapai, tidak satu hari pun ia absen dari kantor tanpa alasan, kecuali sakit. Dirinya selalu mengusahakan untuk mengonversi semua kesedihannya itu dengan berikhtiar lebih keras.

Akhirnya, ia pun mendapatkan kesempatan untuk  mendaftarkan diri pada program beasiswa ke Belanda dan ke Jepang. Hasilnya pun sungguh tidak mengecewakan, ia diterima di 2 univeritas di Belanda, Universiteit van Amsterdam dan Wageningen University. Akan tetapi, perempuan tegar itu tidak lolos beasiswa pemerintah justru ia menerima beasiswa langsung dari kampus Universiteit van Amsterdam yang mengharuskannya pergi ke Belanda dengan biaya sendiri. Merasa tidak ada kemampuan finansial, ia pun untuk kesekian kali menelan rasa sedih. Usahanya yang selalu menyempatkan diri membaca berbagai jurnal penelitian untuk menulis proposal akhirnya membuahkan hasil. Dara berkerudung itu dinyatakan diterima sebagai mahasiswa Indonesia untuk belajar di Jepang melalui beasiswa pemerintah Jepang, Monbukagakusho.

Harapanya ketika di Jepang adalah bisa menjalin komunikasi dengan sang “mantan” pujaan hati. Mereka pun sempat berkomunikasi lewat beberapa kali surat elektronik, tetapi  pada akhirnya ia mengetahui bahwa laki-laki itu sudah “menutup” buku atas semua cerita indah tentang hubungan mereka. Merasa dirinya sudah berikhtiar keras, ia pun berserah diri pada Yang Maha Kuasa atas ketetapan jodohnya. Setahun setelah ia tiba di Jepang, perempuan bersahaja itu pun dilamar dan akhirnya hidup bahagia bersama suaminya yang ternyata ia rasakan jauh lebih baik daripada pujaan hatinya dulu. Setiap kali dirinya mencoba menoleh ke belakang untuk melihat cerita masa lalunya, ia selalu yakin bahwa semua hal terjadi memang karena suatu alasan yang bisa terungkap kapan saja, tanpa diduga oleh siapa pun.