Jumat, 30 September 2011

Ketika Menjadi Berbeda...Why Not?!

Hidup itu adalah pilihan...semua orang tidak akan menjalani hal yang serupa dengan orang lain. Saya yakin semua orang punya keinginan dan cita-cita dalam hidupnya, yang berbeda adalah implementasi dalam mengekspresikannya saja. Saya yakin setiap orang ingin sukses, yang berbeda adalah usaha dan penentuan poros jalan manakah yang ia pilih untuk meraih kesuksesan seperti definisi pribadinya.

Egoisme manusia ada kalanya melihat sesuatu secara parsial, yang kita mau adalah bahwa target pribadi kita tercapai. Lalu, apakah itu akan menguntungkan orang lain atau tidak? Inilah konsep yang saya rasakan mulai muncul ketika setelah menikah. Ternyata tantangan pertama dalam menjaga ikatan yang seimbang itu dimulai dengan menurunkan egoisme.

Berkeluarga sama seperti menjalin ikatan tiada akhir sehingga yang terpikirkan adalah bagaimana agar seluruh anggota keluarga bisa terayomi dengan baik. Level kedewasaan pun seakan diuji. Keseimbangan dan keselarasan dalam membahagiakan diri sendiri dan orang-orang sekitar pun layaknya memberdirikan sebuah uang koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Mengapa saya mengumpamakan hal ini? Iya, dalam berkeluarga adakalanya kepentingan pribadi dikorbankan demi kepentingan bersama, di sisi lain...ketika ada kepentingan pribadi yang ditonjolkan maka anggota kelurgalah yang diajak untuk mengerti. Di sinilah level kedewasaan pun terasah, bagaimana memilah persoalan dan bagaimana pula memikirkan solusi yang tepat bagi kepentingan bersama.

Perubahan akan kehidupan pribadi setelah menikah tentu saja ada, karena yang dipikirkan adalah bukan kepentingan sendiri. Tidak dipungkiri, perubahan kepribadian juga bisa terjadi...tentu saja, diharapkan menjadi pribadi yang lebih matang dan dewasa. Mungkin, inilah yang akan membawa pada perubahan sebagai seorang manusia di tengah-tengah komunitas yang selamanya tidak mengerti akan suatu perbedaan. Pemahaman tentang bagaimana dalam mengatur rumah tangga pun berbeda-beda. Wajar saja, keluarga itu merupakan sistem yang dibagun oleh kesepahaman, bukan oleh orang lain melainkan oleh pasangan itu sendiri. Masing-masing punya tanggung jawab dalam keluarga. Walaupun semua hal bisa saling menyeimbangkan, ada saja tugas pokok yang tidak mungkin dialihkan.

Sebagai seorang istri juga ibu, ada tugas utama spesial yang begitu mulia...yaitu melahirkan anak, mengasuhnya, membimbingnya, dan mengantarkannya menjadi manusia dewasa yang berguna di masyarakat. Perlukah seorang istri bekerja, atau tidak? Itu semua tergantung pada komitmen masing-masing dalam berumah tangga. Apakah salah jika ada seorang perempuan yang notabene sudah bergelar S2, punya resume profesional yang baik, punya prestasi yang baik bahkan diakui di negara lain, memutuskan untuk tinggal di rumah bersama anaknya? Apakah dengan semua hal yang ia punya, maka ada "keharusan" baginya untuk bekerja? Tidak ada keharusan itu, yang ada adalah keharusan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai istri juga ibu di dalam keluarga. Sepertinya itu adalah hal yang tidak mungkin, setidaknya untuk zaman sekarang yang umumnya orang menganggap seorang istri sepatutnya bekerja di luar rumah.

Sungguh disayangkan jika sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki pemahaman seperti ini. Padahal, di negara maju seperti Amerika dan Jepang, banyak istri yang memutuskan fokus mendidik anak, jika memang ekonomi keluarga cukup ditopang oleh penghasilan suami. Lalu, level penghidupan yang layak itu seperti apa? Hal ini tentu saja berpulang pada pemahaman setiap pasangan. Konsep akan tingkat ekonomi sungguh-sungguh relatif, yang tidak jarang itu semua dinilai secara materialistik oleh sebagian kalangan masyarakat kita. Di satu sisi, saya merasa prihatin dengan hal ini...ada sebagian orang yang sepertinya bersusah payah menampilkan dirinya sebagai orang yang "patut" dihormati dengan apa yang menempel pada dirinya. Arus hedonisme sepertinya membutakan banyak orang, bahwa posisi, jabatan, materi seakan-akan menjadi "alat" untuk mengharapkan topi kehormatan. Lalu, bagaimanakah dengan budi pekerti, sopan-santun, dan sikap serta tutur kata yang baik di depan umum? Siapakah yang akan menanamkan ini semua? Apakah hanya guru di sekolah? Cukupkah itu semua? Setidaknya inilah buah pemikiran saya...lalu, saya berkata pada diri sendiri...saya tidak mungkin lari, di sinilah saya mengambil peran.

Semua perubahan yang besar dimulai dari yang kecil. Setidaknya ini yang saya ingat. Saya ingin sekali bisa berbagi ilmu dengan mengajar. Lika-liku kehidupan yang saya alami seakan mengajarkan sekaligus mengingatkan saya bahwa walaupun saya tidak mengerjakannya di luar rumah, justru Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kesempatan itu dengan cara luar biasa, yaitu memulainya dari lingungan yang kecil...tidak lain adalah kelurga.

Di hela nafas ketika menulis bagian akhir buah pikiran ini, saya sungguh merasa ini adalah sesuatu yang sungguh luar biasa...ada seperti rasa  khawatir disertai optimis, insya Allah...semua hal yang pernah saya alami dan jalani tidak akan terbuang sia-sia hanya karena bekerja di rumah. Ada anak yang akan saya didik sebaik mungkin yang saya bisa. Ya, menjadi seorang ibu yang full-time buat anaknya mungkin akan mengernyitkan dahi sebagian orang...namun, kecanggihan teknologi justru menjadi jendela bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya seraya mengabdikan dirinya di rumah sehingga tetap menjadi pribadi yang berpikir maju. So, why not to be different?! Isn't it good to be at home but still can be have chances to expand creativity?! Life is always fair for everybody as long as we always search the true meaning of being alive. Insya allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar